Sabtu, 05 September 2015

PROLOG


Suasana di ruangan studio itu nampak sepi.
Disana hanya ada seorang lelaki dengan badan besar namun bersikap sangat kemayu, seorang wanita muda yang sedang menggantukan baju-baju yang sempat tidak jadi di gunakan dan juga ada seorang lelaki muda yang menekan-nekan tombol pada kamera-nya. Aku yang menjadi objek foto dari sang fotografer hanya mengikuti arahannya agar foto tersebut menjadi lebih baik dan sesuai dengan keinginannya.
“kita selesaikan.. Kamu mau lihat hasil gambarnya?” tanya forograferku sambil tersenyum. Aku mengangguk kikuk dan mengikutinya ke dekat layar komputer dekat dengan wardrobe.

“berapa gambar yang dikirimkan ke majalah?” tanyaku.
“mungkin sekitar tiga atau empat.” Dia mengklik-klik beberapa kali dan menampilkan wajahku yang berbeda dengan kenyataanya. “setelah ini mau ke mana?”
“hah?” aku terdiam sebentar dan menatap wajahnya yang masih serius menekuri foto-foto di depannya. “pulang, masih banyak tugas.” Jawabku. Aku menatap jam dinding di dekat pintu keluar yang sudah menunjukan jam sepuluh malam.
“mas, saya pulang duluan ya.. kayaknya udah di tunggu di depan. Permisi..” pamitku sambil berjalan mendekati pintu keluar.
Aku berjalan sendirian di koridor panjang begitu keluar dari area studio, perasaanku mulai tidak enak. Gedung pemotretan ini memang selalu menyeramkan bila sudah malam hari. Cahaya di koridor itu hanya ada tiap lima meter. Beberapa ruangan yang aku lewati pun tampak gelap karena penghuni ruangan itu sudah pulang dari tadi. Bunyi sepatu bertumit rendah yang aku pakai terdengar lebih nyaring dari biasanya, membuat jantungku berdetak lebih kencang. Perasaan kurang enak tadi makin memuncak, menyebabkan aku berjalan lebih cepat menuju ruangan paling ujung tempat barang-barang aku simpan.
Begitu sampai di depan pintu, aku sedikit terkejut karena pintu tidak tertutup dengan rapat. Padahal aku yakin sekali kalau sebelum aku meninggalkan ruangan, aku sudah menutupnya dengan rapat. Suara engsel yang sudah lama tidak di berikan oli membuat bulu kudukku makin merinding. Aku menengok ke dalam ruangan penuh dengan meja rias dan lampu-lampu kuning yang sangat terang. Kondisinya masih sama seperti saat aku meninggalkan ruangan ini.
Aku mulai memasukan barang-barang yang bercecer ke dalam tas-ku yang cukup besar. Setelah tas aku ambil, ternyata ada suatu kotak seukuran buku tergeletak disana. Warnanya hitam-hitam tanpa celah warna apapun. Saat aku mengambilnya, bagian dasar dari kotak tersebut seperti ada air yang merembes. Aku menatap tanganku yang tiba-tiba saja berubah menjadi warna merah. Perasaan ketakutanku memuncak begitu tak sengaja aku menjatuhkan kotak itu membuat isinya terhambur keluar.
Itu adalah potongan tangan dengan bagian jari-jari yang sudah di silet-silet. Darah segar keluar dari setiap irisannya. Detik itu juga terdengarlah suara jeritan histeris.
Suara histeris itu. Suaraku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar